Sabtu, 19 Maret 2016

Penulisan Essay



YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA PARIWISATA

Pariwisata merupakan sector yang dapat memberikan peranan besar bagi pembangunan suatu daerah sekaligus memberikan kontribusi bagi perolehan devisa maupun penciptaan tenaga kerja. Pada tahun 2004 program pengembangan pariwisata memprioritaskan peningkatan nilai tambah sumber daya secara terpadu antar pengembangan produk pariwisata dan pengembangan pemasaran pariwisata melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal dalam rangka pengembangan community-bassed tourism (CBT), memperluas dan mengembangkan pasar pariwisata serta mempertahankan, mengoptimalkan peranan pariwisata yang berdasarkan pada konsep kehidupan berkesinambungan (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2001: 2).
Yogyakarta kaya akan predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada seperti kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar dan kota pariwisata. Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi provinsi ini dalam kacamata kepariwisataan.
Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali. Penilaian tersebut didasarkan pada beberapa factor yang menjadi kekuatan pengembangan di DIY. Pertama, berkenaan dengan keanekaragaman objek. Dengan berbagai predikatnya, DIY memiliki keanekaragaman objek wisata yang relatif menyeluruh baik dari segi fisik maupun non fisik, disamping kesiapan sarana penunjang wisata. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta relatif memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Kedua, berkaitan dengan ragam spesifikasi objek dengan karakter mantap dan unik seperti kraton, candi prambanan, kerajinan perak di Kotagede.
Spesifikasi objek ini masih didukung oleh kombinasi objek fisik dan non fisik dalam paduan yang selaras. Kesemua faktor tersebut memperkuat daya saing DIY sebagai propinsi tujuan utama (primary destination) tidak saja bagi wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.
Sebutan Prawirotaman dan Sosrowijayan sebagai ‘kampung Internasional' membuktikan kedekatan atmosfir Yogyakarta dengan 'selera eksotisme' wisatawan mancanegara. Kota Yogyakarta yang memiliki banyak objek wisata dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu objek wisata budaya dan objek wisata buatan .Potensi objek dan daya tarik wisata di Yogyakarta adalah museum, bangunan bersejarah, bangunan budaya, kelompok kesenian atau atraksi wisata dan kawasan malioboro.
Yang termasuk dalam kategori objek wisata budaya diantaranya adalah benteng vredeburg, Keraton Yogyakarta, taman sari, keraton pakualaman dan makam kotagede. Sedangkan yang masuk dalam kategori objek wisata buatan diantaranya adalah museum Sono Budaya, museum Sasono Wirotomo, museum AD (Dharma Wiratama), museum perjuangan, BIOLOGI UGM, purawisata, kebun plasma pisang, kebun binatang Gembira Loka, dan Kali Code (Profil Kota Yogyakarta, 2003:10).
Menurut data dari Dinas Pariwisata DIY, hingga tahun 2013 tercatat sebanyak lebih dari 100 desa wisata di DIY dan berpotensi untuk menarik para wisatawan untuk berkunjung. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan baik wisatawan mancanegara (wisman)maupun wisatawan nusantara (wisnus).
Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan.  Menurut Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta mengklaim jumlah kunjungan wisatawan selama tahun 2015 melampaui target. Tak saja turis lokal, kunjungan wisatawan mancanegara ke DIY juga meningkat.
Kepala Dinas Pariwisata DIY Aris Riyanta mengatakan hingga November 2015, jumlah kunjungan wisatawan macanegara (wisman) mencapai 281 ribu. Padahal, target wisman 2015 yang ditetapkan pemerintah adalah 264 ribu orang. Sementara wisatawan nusantara (wisnus), hingga bulan November, tercatat 3.380.000 wisatawan. Target yang ditetapkan di 2015 adalah sebesar 3,4 juta. "Jumlah di atas belum termasuk jumlah kunjungan wisman dan wisnus di libur akhir tahun Desember. Karena belum dihitung. Saya yakin jumlah akhirnya nanti melebihi target," ujar Aris melalui sambungan telepon di Yogyakarta, Senin (11/1/2016).
Dalam hitungan secara kasat mata, ia menilai jumlah wisatawan yang mengunjungi DIY di akhir tahun membludak. Ini terlihat dari kemacetan dan kepadatan lalu lintas di beberapa pusat wisata seperti di Kawasan Malioboro, Pantai Parangtritis, dan Titik Nol Kilometer. "Liburan kemarin penambahan wisnus cukup banyak, bisa sampai 400-500 ribu orang. Kalau wisman, puncak-puncaknya saat bulan September hingga November," jelasnya. Tempat-tempat wisata yang masih menjadi favorit para pelancong dalam negeri antara lain Kaliurang, Taman Pintar, Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan dan sepanjang pantai selatan di Gunung Kidul. 
Dengan adanya potensi wisata yang dimiliki, perlibatan partisipasi masyarakat dalam pariwisata di Yogyakarta masih sangat minim. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Condroyono, kepala Baparda DIY yang menyatakan bahwa sense of tourism masyarakat DIY, termasuk birokrasinya masih sangat rendah. Dalam pengembangan pariwisata selama ini budaya masyarakat setempat lebih dilihat sebagai objek, sehingga mengakibatkan “menjual budaya” dengan adanya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat ditekankan kesetaraan antara masyarakat dengan turis dan berkembangnya budaya sebagai jati diri bangsa.
Masyarakat sendiri memberikan penjelasan tentang budaya dan kebiasaan setempat. Dengan demikian, turis lebih mengerti tentang kebudayaan, kebiasaan dan kecenderungan mengikuti atau patuh pada aturan yang berlaku di tempat yang dikunjungi. Pengalaman dapat membantu anda saling pengertian dan menghargai nila-nilai yang berbeda yang pada gilirannya mendukung masyarakat untuk lebih terbuka dan memberi penjelasan tentang pengetahuan lokal kepada turis (CIFOR,2004: 4).
Seiring dengan tingkat kebutuhan hidup masyarakat yang semakin tinggi serta orientasi masyarakat menuju globalisasi ke arah yang lebih modern, kebudayaan lokal yang sudah lama tumbuh dan berkembang di masyarakat pun mulai pudar. Kondisi fisik bangunan adat setempat banyak yang mulai hilang keasliannya. Banyak bangunan yang dibangun tanpa memperhatikan unsur-unsur spiritualitasnya. Hal tersebut tentu membuat para wisatawan tidak dapat menangkap identitas sebuah kawasan.
Kota wisata bersejarah termasuk Yogyakarta perlu menyeimbangkan pengaruh industry pariwisata dengan strategi pembangunan berkelanjutan karena kota ini telah berkembang sebagai kota wisata, kata seorang peneliti Jepang. “Hal itu menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat karena konsentrasi turis dan pembangunan industry pariwisata di kota berseejarah berpotensi membawa berbagai permasalahan” kata peneliti dari Kyoto Prefectural University, Jepang, Yoshifumi Muneta di Yogyakarta.
Pada ’Tourism Heritage Seminar 2016”, Ia mengatakan salah satu contohnya adalah Kyoto. Seiring dengan pergeserah industry Jepang dari perekonomian berbasis perdagangan dan jasa, industry pariwisata menjadi perhatian utama pemerintah. “Meskipun memiliki potensi yang besar sebagai penggerak ekonomi nasional, pertumbuhan industry pariwisata menimbulkan ancaman terhadap kelestarian situs0situs yang menjadi asset budaya dan sejarah”, katanya.
Dalam membangun industry pariwisata, kata dia, kebijakan yang diambil pemerintah Jepang berfokus pada 3 (tiga) hal. Pertama, memindahkan pusat pariwisata dari situs-situs  bersejarah ke fasilitas-fasilitas komersial. Kedua, mengubah gaya wisata tamasya menjadi kegiatan yang lebih partisipatif dengan pengenalan terhadap etika dan filsafat budaya Jepang. Ketiga, melibatkan wisatawan ke dalam kehidupan sehari-hari warga local agar mereka dapat mendapatkan pengalaman yang lebih dekat dan di saat yang sama mereka turut memajukan kehidupan warga local.
“Melalui kebijakan tersebut pemerintah dapat melindungu situs-situs bersejarah namun tetap mendorong komersialisasi kota melalui alternative wisata yang lebih modern”, katanya.
Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada (UGM) Djoko Wijono mengatakan apa yang disampaikan Yoshifumi itu dapat menjadikan pelajaran bagi pembuatan kebijakan pembangunan pariwisata di Indonesia khususnya di Yogyakarta.
“Kyoto dan Yogyakarta sebagai sister city diharapkan dapat terus menjalin hubungan yang baik dan bekerja sama”, katanya. “Tourism Heritage Seminar 2016” itu diadakan Pusat Studi Pariwisata UGM bekerja sama dengan Jogja Heritage Society.
Seiring banyaknya para wisatawan local maupun wisatawan mancanegara, kota Yogyakarta mempunyai salah satu masalah seperti dalam menyediakan fasilitas penginapan atau hotel. Masih perlu banyak penataan pembangunan di kota Yogyakarta.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Yogyakarta Eko Suryo Maharsono berlindung pada Undang-Undang Republik Indonesia No.10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. UU 10/2009 mengatur bahwa pariwisata mendapatkan kesempatan yang sama dalam dunia usaha. Aturan di tingkat nasional sudah memperbolehkan dan memberikan ruang. Begitu pula pada penerapan perencanaan tata ruang yang juga merujuk pada aturan yang dibuat di pusat. Jadi, taka da yang salah dengan dinamika pembangunan untuk pariwisata di Yogyakarta.
Menurut birokrat senior Kota Yogyakarta yang juga aktif tampil sebagai dalang wayang kulit ini, globalisasi adalah keniscayaan. Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menghadapi globalisasi, telah berusaha kuat untuk melakukan pelestarian. Namun perubahan tetap akan terjadi. Eko Suryo mengaku terkesan dengan visi pengelolaan kota-kota besar di dunia, khususnya di Amerika Serikat. Buku “The Twenty-First Century City” memperkuat pandangannya bahwa filosofi tata kelola pemerintahan kota yang baru adalah menempatkan pemerintah sebagai sector bisnis dan masyarakat sebagai pelanggan atau konsumen.
Namun, menurut peneliti tata ruang Dambung Lamuara Djaja, proses pembangunan yang terjadi di Yogyakarta sudah jauh diatas kapasitas. Hal ini adalah masalah karena Yogyakarta sudah bisa disebut mengalami situasi oversupply. Sebagai ukuran, kini sudah ada 6 mall aktif dan akan bertambah menjadi 12 mall. Sudah lebih dari 1100 hotel, dengan diantaranya hotel berbintang dan sisanya adalah hotel kelas melati. Sementara proses pembangunan hotel baru berlangsung. Padahal tingkat keterisian hotel semakin menurun, sekitar 40% saja.
Menurut Dambung justru bertentangan dengan pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X bahwa hotel masih perlu dibangun jika tingkat katerisiannya mencapai 80%. Rencanana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Yogyakarta tahun 2012 menerangkan bahwa dalam 20 tahun ked pan, jumlah kamar hotel ditargetkan mencapai 1500 kamar. Namun, faktanya kini sudah ada lebih dari 25000 kamar di Yogyakarta. Ada ketidak konsistenan antara rencana dan imlementasi, walaupun sudah ada peraturan untuk moratorium pembangunan hotel di Kota Yogyakarta.
Oleh karena itu, masyarakat merupakan pelaku pengembangan pariwisata yang memiliki peranan yang sangat sentral, karena masyarakat sebagai tuan rumah secara umum bersentuhan langsung dengan wisatawan yang berkunjung di Kota Yogyakarta seperti memberikan pelayanan jasa maupun menjaga ketertiban dan kenyamanan kawasan wisata. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta tidak akan berdiri sendiri untuk senantiasa mengembangkan pariwisata di kota Yogyakarta, tanpa kerjasama antar stakeholder yang ada yaitu masyarakat dan pihak swasta.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam memfasilitasi masyarakat demi mewujudkan pariwisata berbasis masyarakat adalah memfasilitasi berbagai macam kebutuhan masyarakat maupun wisatawan dalam menunjang kegiatan kepariwisataan. Adapun dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta bekerja sama dengan pihak swasta maupun masyarakat. Pihak swasta yang bekerja sama dalam bidang pariwisata adalah pemilik hotel, restoran ataupun Rumah makan, agent travel dan biro perjalanan wisata. 

Sumber            :
http://visitingjogja.com/info/display/Kunjungan+Wisatawan+2015+ke+DIY+Diklaim+Lampaui+Target