YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA PARIWISATA
Pariwisata
merupakan sector yang dapat memberikan peranan besar bagi pembangunan suatu
daerah sekaligus memberikan kontribusi bagi perolehan devisa maupun penciptaan
tenaga kerja. Pada tahun 2004 program pengembangan pariwisata memprioritaskan
peningkatan nilai tambah sumber daya secara terpadu antar pengembangan produk
pariwisata dan pengembangan pemasaran pariwisata melalui pendekatan
pemberdayaan masyarakat lokal dalam rangka pengembangan community-bassed
tourism (CBT), memperluas dan mengembangkan pasar pariwisata serta
mempertahankan, mengoptimalkan peranan pariwisata yang berdasarkan pada konsep
kehidupan berkesinambungan (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2001: 2).
Yogyakarta
kaya akan predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada seperti
kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar dan kota pariwisata. Sebutan
Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan
potensi provinsi ini dalam kacamata kepariwisataan.
Yogyakarta
adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali. Penilaian tersebut
didasarkan pada beberapa factor yang menjadi kekuatan pengembangan di DIY.
Pertama, berkenaan dengan keanekaragaman objek. Dengan berbagai predikatnya,
DIY memiliki keanekaragaman objek wisata yang relatif menyeluruh baik dari segi
fisik maupun non fisik, disamping kesiapan sarana penunjang wisata. Sebagai
kota pendidikan, Yogyakarta relatif memiliki sumber daya manusia yang
berkualitas. Kedua, berkaitan dengan ragam spesifikasi objek dengan karakter
mantap dan unik seperti kraton, candi prambanan, kerajinan perak di Kotagede.
Spesifikasi
objek ini masih didukung oleh kombinasi objek fisik dan non fisik dalam paduan
yang selaras. Kesemua faktor tersebut memperkuat daya saing DIY sebagai
propinsi tujuan utama (primary destination) tidak saja bagi wisatawan nusantara
maupun wisatawan mancanegara.
Sebutan
Prawirotaman dan Sosrowijayan sebagai ‘kampung Internasional' membuktikan
kedekatan atmosfir Yogyakarta dengan 'selera eksotisme' wisatawan mancanegara.
Kota Yogyakarta yang memiliki banyak objek wisata dapat dikategorikan menjadi 2
(dua) yaitu objek wisata budaya dan objek wisata buatan .Potensi objek dan daya
tarik wisata di Yogyakarta adalah museum, bangunan bersejarah, bangunan budaya,
kelompok kesenian atau atraksi wisata dan kawasan malioboro.
Yang
termasuk dalam kategori objek wisata budaya diantaranya adalah benteng
vredeburg, Keraton Yogyakarta, taman sari, keraton pakualaman dan makam
kotagede. Sedangkan yang masuk dalam kategori objek wisata buatan diantaranya
adalah museum Sono Budaya, museum Sasono Wirotomo, museum AD (Dharma Wiratama),
museum perjuangan, BIOLOGI UGM, purawisata, kebun plasma pisang, kebun binatang
Gembira Loka, dan Kali Code (Profil Kota Yogyakarta, 2003:10).
Menurut data dari Dinas Pariwisata DIY, hingga tahun 2013
tercatat sebanyak lebih dari 100 desa wisata di DIY dan berpotensi untuk
menarik para wisatawan untuk berkunjung. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya
jumlah kunjungan wisatawan baik wisatawan mancanegara (wisman)maupun wisatawan
nusantara (wisnus).
Berbagai
jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata
sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan. Menurut Dinas Pariwisata Daerah Istimewa
Yogyakarta mengklaim jumlah kunjungan wisatawan selama tahun 2015 melampaui
target. Tak saja turis lokal, kunjungan wisatawan mancanegara ke DIY juga
meningkat.
Kepala
Dinas Pariwisata DIY Aris Riyanta mengatakan hingga November 2015, jumlah
kunjungan wisatawan macanegara (wisman) mencapai 281 ribu. Padahal, target
wisman 2015 yang ditetapkan pemerintah adalah 264 ribu orang. Sementara
wisatawan nusantara (wisnus), hingga bulan November, tercatat 3.380.000
wisatawan. Target yang ditetapkan di 2015 adalah sebesar 3,4 juta. "Jumlah
di atas belum termasuk jumlah kunjungan wisman dan wisnus di libur akhir tahun
Desember. Karena belum dihitung. Saya yakin jumlah akhirnya nanti melebihi
target," ujar Aris melalui sambungan telepon di Yogyakarta, Senin
(11/1/2016).
Dalam
hitungan secara kasat mata, ia menilai jumlah wisatawan yang mengunjungi DIY di
akhir tahun membludak. Ini terlihat dari kemacetan dan kepadatan lalu lintas di
beberapa pusat wisata seperti di Kawasan Malioboro, Pantai Parangtritis, dan
Titik Nol Kilometer. "Liburan kemarin penambahan wisnus cukup banyak, bisa
sampai 400-500 ribu orang. Kalau wisman, puncak-puncaknya saat bulan September
hingga November," jelasnya. Tempat-tempat wisata yang masih menjadi
favorit para pelancong dalam negeri antara lain Kaliurang, Taman Pintar,
Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan dan sepanjang pantai selatan di Gunung
Kidul.
Dengan
adanya potensi wisata yang dimiliki, perlibatan partisipasi masyarakat dalam
pariwisata di Yogyakarta masih sangat minim. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Condroyono, kepala Baparda DIY yang menyatakan bahwa sense of tourism
masyarakat DIY, termasuk birokrasinya masih sangat rendah. Dalam pengembangan
pariwisata selama ini budaya masyarakat setempat lebih dilihat sebagai objek,
sehingga mengakibatkan “menjual budaya” dengan adanya pengembangan pariwisata
berbasis masyarakat dapat ditekankan kesetaraan antara masyarakat dengan turis
dan berkembangnya budaya sebagai jati diri bangsa.
Masyarakat
sendiri memberikan penjelasan tentang budaya dan kebiasaan setempat. Dengan
demikian, turis lebih mengerti tentang kebudayaan, kebiasaan dan kecenderungan
mengikuti atau patuh pada aturan yang berlaku di tempat yang dikunjungi.
Pengalaman dapat membantu anda saling pengertian dan menghargai nila-nilai yang
berbeda yang pada gilirannya mendukung masyarakat untuk lebih terbuka dan
memberi penjelasan tentang pengetahuan lokal kepada turis (CIFOR,2004: 4).
Seiring
dengan tingkat kebutuhan hidup masyarakat yang semakin tinggi serta orientasi
masyarakat menuju globalisasi ke
arah yang lebih modern, kebudayaan lokal yang sudah lama tumbuh dan berkembang
di masyarakat pun mulai pudar. Kondisi fisik bangunan adat setempat banyak yang
mulai hilang keasliannya. Banyak bangunan yang dibangun tanpa memperhatikan
unsur-unsur spiritualitasnya. Hal tersebut tentu membuat para wisatawan tidak
dapat menangkap identitas sebuah kawasan.
Kota
wisata bersejarah termasuk Yogyakarta perlu menyeimbangkan pengaruh industry
pariwisata dengan strategi pembangunan berkelanjutan karena kota ini telah
berkembang sebagai kota wisata, kata seorang peneliti Jepang. “Hal itu menjadi
tantangan pemerintah dan masyarakat karena konsentrasi turis dan pembangunan
industry pariwisata di kota berseejarah berpotensi membawa berbagai
permasalahan” kata peneliti dari Kyoto Prefectural University, Jepang,
Yoshifumi Muneta di Yogyakarta.
Pada
’Tourism Heritage Seminar 2016”, Ia mengatakan salah satu contohnya adalah
Kyoto. Seiring dengan pergeserah industry Jepang dari perekonomian berbasis
perdagangan dan jasa, industry pariwisata menjadi perhatian utama pemerintah. “Meskipun
memiliki potensi yang besar sebagai penggerak ekonomi nasional, pertumbuhan
industry pariwisata menimbulkan ancaman terhadap kelestarian situs0situs yang
menjadi asset budaya dan sejarah”, katanya.
Dalam
membangun industry pariwisata, kata dia, kebijakan yang diambil pemerintah
Jepang berfokus pada 3 (tiga) hal. Pertama, memindahkan pusat pariwisata dari
situs-situs bersejarah ke
fasilitas-fasilitas komersial. Kedua, mengubah gaya wisata tamasya menjadi
kegiatan yang lebih partisipatif dengan pengenalan terhadap etika dan filsafat
budaya Jepang. Ketiga, melibatkan wisatawan ke dalam kehidupan sehari-hari
warga local agar mereka dapat mendapatkan pengalaman yang lebih dekat dan di
saat yang sama mereka turut memajukan kehidupan warga local.
“Melalui
kebijakan tersebut pemerintah dapat melindungu situs-situs bersejarah namun
tetap mendorong komersialisasi kota melalui alternative wisata yang lebih
modern”, katanya.
Kepala
Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada (UGM) Djoko Wijono mengatakan apa
yang disampaikan Yoshifumi itu dapat menjadikan pelajaran bagi pembuatan
kebijakan pembangunan pariwisata di Indonesia khususnya di Yogyakarta.
“Kyoto
dan Yogyakarta sebagai sister city diharapkan dapat terus menjalin hubungan
yang baik dan bekerja sama”, katanya. “Tourism Heritage Seminar 2016” itu
diadakan Pusat Studi Pariwisata UGM bekerja sama dengan Jogja Heritage Society.
Seiring
banyaknya para wisatawan local maupun wisatawan mancanegara, kota Yogyakarta
mempunyai salah satu masalah seperti dalam menyediakan fasilitas penginapan
atau hotel. Masih perlu banyak penataan pembangunan di kota Yogyakarta.
Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Yogyakarta Eko Suryo Maharsono berlindung pada
Undang-Undang Republik Indonesia No.10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. UU
10/2009 mengatur bahwa pariwisata mendapatkan kesempatan yang sama dalam dunia
usaha. Aturan di tingkat nasional sudah memperbolehkan dan memberikan ruang.
Begitu pula pada penerapan perencanaan tata ruang yang juga merujuk pada aturan
yang dibuat di pusat. Jadi, taka da yang salah dengan dinamika pembangunan
untuk pariwisata di Yogyakarta.
Menurut
birokrat senior Kota Yogyakarta yang juga aktif tampil sebagai dalang wayang
kulit ini, globalisasi adalah keniscayaan. Pemerintah Kota Yogyakarta dalam
menghadapi globalisasi, telah berusaha kuat untuk melakukan pelestarian. Namun perubahan
tetap akan terjadi. Eko Suryo mengaku terkesan dengan visi pengelolaan
kota-kota besar di dunia, khususnya di Amerika Serikat. Buku “The Twenty-First
Century City” memperkuat pandangannya bahwa filosofi tata kelola pemerintahan
kota yang baru adalah menempatkan pemerintah sebagai sector bisnis dan
masyarakat sebagai pelanggan atau konsumen.
Namun,
menurut peneliti tata ruang Dambung Lamuara Djaja, proses pembangunan yang
terjadi di Yogyakarta sudah jauh diatas kapasitas. Hal ini adalah masalah
karena Yogyakarta sudah bisa disebut mengalami situasi oversupply. Sebagai
ukuran, kini sudah ada 6 mall aktif dan akan bertambah menjadi 12 mall. Sudah
lebih dari 1100 hotel, dengan diantaranya hotel berbintang dan sisanya adalah
hotel kelas melati. Sementara proses pembangunan hotel baru berlangsung.
Padahal tingkat keterisian hotel semakin menurun, sekitar 40% saja.
Menurut
Dambung justru bertentangan dengan pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku
Buwono X bahwa hotel masih perlu dibangun jika tingkat katerisiannya mencapai
80%. Rencanana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Yogyakarta tahun
2012 menerangkan bahwa dalam 20 tahun ked pan, jumlah kamar hotel ditargetkan
mencapai 1500 kamar. Namun, faktanya kini sudah ada lebih dari 25000 kamar di
Yogyakarta. Ada ketidak konsistenan antara rencana dan imlementasi, walaupun
sudah ada peraturan untuk moratorium pembangunan hotel di Kota Yogyakarta.
Oleh
karena itu, masyarakat
merupakan pelaku pengembangan pariwisata yang memiliki peranan yang sangat
sentral, karena masyarakat sebagai tuan rumah secara umum bersentuhan langsung
dengan wisatawan yang berkunjung di Kota Yogyakarta seperti memberikan
pelayanan jasa maupun menjaga ketertiban dan kenyamanan kawasan wisata. Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta tidak akan berdiri sendiri untuk
senantiasa mengembangkan pariwisata di kota Yogyakarta, tanpa kerjasama antar stakeholder
yang ada yaitu masyarakat dan pihak swasta.
Beberapa
upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dalam
memfasilitasi masyarakat demi mewujudkan pariwisata berbasis masyarakat adalah
memfasilitasi berbagai macam kebutuhan masyarakat maupun wisatawan dalam
menunjang kegiatan kepariwisataan. Adapun dalam menjalankan perannya
sebagai fasilitator, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta bekerja
sama dengan pihak swasta maupun masyarakat. Pihak swasta yang bekerja sama
dalam bidang pariwisata adalah pemilik hotel, restoran ataupun Rumah makan,
agent travel dan biro perjalanan wisata.
Sumber :
http://visitingjogja.com/info/display/Kunjungan+Wisatawan+2015+ke+DIY+Diklaim+Lampaui+Target
Tidak ada komentar:
Posting Komentar